(Part V) KMO dalam Pusaran Politik Mahasiswa

Tb. Damanhuri
7 min readOct 5, 2021
Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

“Ciputat adalah miniatur demokrasinya Indonesia”

Kira-kira demikian statement kader himpunan yang kini masih melekat. Dengan ragam organisasi intra dan ekstra kampusnya, merekayasa Ciputat menjadi “ruang dinamika gagasan” yang secara kultural terus diwariskan. Bila kita saksikan, organisasi ekstra seperti HMI, PMII, IMM, dan KAMMI sebagai organisasi domino mahasiswa yang menjadi pilihan ruang pengembangan diri yang tidak terwadahi di dalam kampus.

Disisi lain organisasi intra kampus, dari tingkatan HMJ/HMPS, Dewan Mahasiswa tingkat Fakultas (DEMA-F) dan Universitas (DEMA-U), serta Senat Mahasiswa tingkat Fakultas (SEMA-F) dan Universitas (SEMA-U) –khususnya- di UIN Jakarta kerapkali menjadi sorotan dan ‘pertempuran politik’ mahasiswa ekstra kampus untuk ‘menguasasi’ internal kampus. Alih-alih demikian terjadi -biasanya- karena organisasi-organisasi ekstra kampus tersebut ingin memberikan ruang yang lebih luas dan strategis untuk menempatkan dan mengembangkan kader-kadernya di dalam akademik kampus. Padahal disisi lain, terdapat ragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dalam intra kampus yang tak begitu menjadi sorotan politik mahasiswa, mengingat UKM hanyalah sebagai medium menyalurkan bakat dan minat mahasiswa dalam internal kampus itu sendiri.

Selain organisasi-organisasi ekstra-kampus yang telah disebutkan di atas, ada pula bergaining organisasi dengan corak primordialistik (kedaerahan) yang begitu banyak di Ciputat. Diantaranya terdapat HMB (Himpunan Mahasiswa Banten), HIMALAYA (Himpunan Mahasiswa Tasik Malaya), dan masih banyak lagi yang mereka terhimpun atas daerah asalnya. Belum lagi bergaining organisasi yang mengatasnamakan alumni pesantrennya masing-masing begitu banyak jumlahnya, begitu juga dengan komunitas-komunitas yang ada. Namun, disamping banyaknya terdapat organisasi yang ada membuat mahasiswa pun ‘bingung’ dan ‘labil’ dalam memfokuskan salah satu organisasi tertentu, malah sering didapatkan dengan kenyataan banyak mahasiswa yang bahkan “berkaki-lima” diantara organisasi yang di ikutinya. Entah demi kepentingan networking building-nya atau bahkan hanya sekedar memanfaatkan organisasi tersebut.

Kepemimpinan, Manajemen dan Organisasi

Dalam organisasi yang sehat, hal yang mendasar untuk di ketahui ialah sejauh mana efektifitas kepemimpinan, manajemen, dan organisasi tersebut teraktualisasi dengan baik. Bagi penulis, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang berangkat dari pribadi yang telah “selesai dengan dirinya”. Maksudnya, keseimbangan spritual-intelektual telah terpatri dan keselarasan sosial-emosional terakselerasi dalam sosok seorang pemimpin organisasi. Disamping secara kharismatik, kepemimpinan juga menghendaki pengaruh dan daya tarik sebagai seni kehidupan seorang pemimpin.

Pemimpin yang sejati tidak pernah terlahir secara instan. Ia lahir dari pergolakan zaman. Individu-individu dalam organisasi yang memiliki cakrawala pengetahuan, integritas diri, ketulusan dalam segenap aktivitasnya, memiliki prinsip hidup atau komitmen, dan dapat berkomunikasi dengan baik sejatinya adalah cikal-bakal sosok pemimpin yang terbaik. Namun kerapkali, sosok yang demikian sering dikalahkan oleh kenyataan. Yakni, sebab perspektif kuantitas yang di dahulukan daripada pengakuan kualitas. Hingga dalam hal ini, menjadi wajar bilamana para pemimpin organisasi tersebut kian redup secara pengakuan kualitasnya di kalangan Ciputat akhir-akhir ini.

Kepemimpinan sebagai seni kehidupan kemudian akan mempengaruhi corak manajerial dalam suatu organisasi. Manajemen yang berbasis Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling akan lemah bilamana pangkal dasar kualitas pemimpinnya juga lemah. Di sisi lain, manajemen sebagai seni praktis kemudian tak dapat memiliki nuansa terobosan yang progresif dan inovatif dalam suatu organisasi.

Organisasi sebagai entitas kelompok yang terstruktur dan sistematis hendaknya pun dapat menyelaraskan dirinya dengan modernitas. Organisasi-organisasi konvensional yang telah berdiri dalam peralihan zaman seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, yang tak dapat bersikap inklusif terhadap zaman akan cenderung ditinggalkan dan tak menjadi menarik lagi untuk diikuti sebab menjadi “kaku” dan dinamika yang dihadirkan masih “itu-itu saja”. Hadirnya komunitas-komunitas dalam entitas kelompok yang lebih ‘segar’ dan ‘bebas’ pun kini menjadi sorotan mahasiswa-mahasiswa baru, karena menawarkan nuansa yang lebih milenial. Seperti komunitas-komunitas volunteer yang kini menjadi bergaining dan lebih ‘bergaya’ dengan forum-forum nasional ataupun internasional yang di-branding-nya.

Pastikan Terpilih Karena Kualitas

Artinya sekali lagi, organisasi-organisasi tersebut mesti segera berbenah diri bila tidak ingin menunggu kehancurannya. Pertarungan sesama organisasi yang biasa hadir dalam momentum PEMIRA atau Pemilihan Mahasiswa Umum Raya di UIN Jakarta, misalnya, dijadikan sebagai ajang konstestasi memperkenalkan kader-kader terbaiknya untuk menduduki posisi-posisi strategis di internal kampus.

Corak penyuguhan ataupun promotion kader-kader tersebut, mesti dipastikan dahulu memiliki kualifikasi sebagai seorang pemimpin mahasiswa yang memiliki spirit zaman. Egoisme diantara sesama organisasi ektra-kampus pun bukan lagi perihal sentimen organisasi yang lagi-lagi ditonjolkan, melainkan sentimen gagasan dan dialektika pembaruan untuk menghadapi tantang zaman ke depan.

Bilamana hal demikian dapat menjadi kesadaran bersama, tentulah yang terpilih bukan lagi sebab faktor kuantitas atau suara yang diperoleh, melainkan karena kelayakan kualitas dan kapabilitas yang diakui oleh para mahasiswa lainnya. Sebab sesungguhnya hati nurani dapat mengetahui tentang siapa yang layak untuk diberikan amanah memimpin.

Political Consciusness atau kesadaran politik mahasiswa dibangun atas pilar kualitas, kapabilitas, dan integritas. Politisasi yang terjadi saat-saat momentum PEMIRA pun mesti beranjak dari politik praktis menuju politik etis. Sekali lagi alangkah bobroknya mereka yang hanya dipilih berdasarkan kuantitas dan tak memiliki kualitas! Sungguh menjadi ironi bilamana hal negatif demikian terus terjadi. Sehingga wajar saja bilamana mahasiswa-mahasiswa menjadi enggan dan traumatik menghadapi pesta politik dalam demokrasi kampus.

Profil Teladan Figur Kepemimpinan

Politik Kampus sebagai konstelasi dan pembelajaran dinamika politik yang sesungguhnya di Indonesia semestinya disikapi secara posistif dan bijaksana. Artinya, mahasiswa-mahasiswa mestilah memahami PEMIRA sebagai pendidikan politik untuk dipersiapkan dan disambut dengan antusias.

HMI Cabang Ciputat dengan ribuan kadernya serta kehebatan-kehebatan alumninya dituntut menjadi pelopor dalam mencontohkan kehidupan politik mahasiswa dengan baik. Kader-kader calon pemimpin mahasiswa mesti dipersiapkan dengan matang dan qualifacated untuk menjadi petarung yang bermartabat. Kader-kader HMI yang telah belajar di di basic training pastinya mendapatkan materi KMO sebagai ilmu praktis dalam implementasi misi HMI, yakni mengacu pada narasi MISSION HMI dalam kualitas insan cita.

Namun, dalam pembelajaran politik kampus pada PEMIRA tahun 2018 lalu, HMI banyak mendapatkan kekalahan terkhusus dalam kontestasi di pemilihan DEMA Fakultas. Kendati pada tingkat Universitas, HMI mutlak memenangkan pemilihan pada DEMA-U dan juga SEMA-U dengan siasat koalisi yang baik.

PR-nya, calon pemimpin mahasiswa tingkat jurusan, fakultas, dan universitas hendaklah terselektifikasi bukan hanya dalam ukuran akademik saja, melainkan dengan kualitas jenjang training yang berkelanjutan. Secara lugasnya, alangkah menjadi lebih baik mereka yang hendak mencalonkan diri itu ialah kader yang sudah lulus Intermediate Training atau Latihan Kader II Tingkat Nasional. Hal demikian diharapkan agar para kader serius menempa dirinya dalam kaderisasi di himpunan, bukan semata hanya lulus basic training sebagai formalitas menjadi anggota biasa HMI.

Intermediate training yang merupakan kelanjutan pelatihan formal dari basic training ialah sebagai ikhtiar himpunan untuk menjadikan kader berwawasan intelektual. Mengacu daripada tujuan dari LK II itu sendiri ialah “Terbinanya Kader HMI yang Memiliki Kemampuan Intelektual untuk Memetakan Peradaban dan Memformulasikan Gagasan dan Ruang Lingkup Organisasi” menjadikan kader-kader HMI secara layak untuk disebut sebagai “kader’. Sebab dalam LK I secara tujuannya yaitu “Terbinanya Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan Peranannya dalam Berorganisasi, serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan Kader Bangsa’, menempatkan seorang yang lulus dari pelatihan tersebut hanya sebagai ‘anggota biasa’.

Pentingnya para calon pemimpin mahasiswa itu untuk LK II ialah bukan lain dalam maksud politisasi perkaderan, melainkan semata untuk menunjang para kader agar memiliki kualifikasi yang lebih layak dan unggul dari kader-kader yang lainnya. Lebih jelas lagi, LK II menuntut seorang kader untuk memperhatikan target-target dalam pelatihan ini, yaitu: Pertama, memiliki kesadaran intelektual yang kritis, dinamis, progresif, inovatif dalam memperjuangkan misi HMI; Kedua, memiliki pengetahuan tentang peta peradaban dunia; Ketiga, memiliki kemampuan manajerial dalam berorganisasi.

Di LK II pun kader-kader akan mendapatkan segenap cakrawala pengetahuan dari pengembangan lima materi wajib yang didapatkan ketika basic training. Dimana materi-materi wajib yang diberikan dalam LK II meliputi Teori-teori Perubahan Sosial, Ideopolitorstratak, Studi Gerakan Islam, Wawasan Nusantara, Pendalaman NDP, dan KMO. Dalam Pedoman Perkaderan HMI (hlm 400), secara lebih gamblang tertulis maksud dari segenap materi-materi di LK II itu, yakni:

“Seorang kader Muslim Intelegensia (Insan Cita) mesti memiliki kemampuan analisa di dalam melakukan gerakan perubahan dalam berbagai aspeknya, ia tidak lagi memahami dalam kaitannya dengan satu aspek penunjang perubahan, melainkan keseluruhan komponen yang sangat memungkinkan terjadinya perubahan. Oleh sebab itu, materi perubahan-perubahan sosial disajikan sebagai bentuk pengetahuan yang dapat melihat pertumbuh-kembangan ideologi-ideologi yang ada, sebab dapat dipastikan bahwa perubahan yang terjadi akan selalu berbanding lurus dengan tumbuh kembangnya ideologi tertentu. Dari sebab itu, pengetahuan tentang strategi penyebaran ideologi dalam lingkup perubahan menjadi teramat penting disamping bahwa Islam itu sendiri turut pula memberikan input dalam melakukan gerakan perubahannya. Maka melihat Islam dalam konteks gerakan turut pula menjadi bahan dasar HMI di dalam menentukan gerakannya ditengah-tengah keberadaan gerakan lainnya.

Pengetahuan tentang keberadaan gerakan Islam ini memberikan suatu kenyataan bahwa HMI harus pula mengambil posisi diantara gerakan-gerakan tersebut berdasarkan identitas dirinya yang tak terpisahkan dari ke-indonesiaannya tempat ia bertumbuh-kembang. Maka pemberian pengetahuan secukupnya tentang potret perkembangan dan kejayaan tanah Nusantara sebagai cikal-bakal dari Indonesia menjadi penting sebagai bentuk pengenalan terhadap nilai-nilai dasar budaya yang ada di Indonesia. Untuk mendekatkan fokus perjuangan, kader disajikan dan dituntut untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar yang diusung oleh HMI sebagai bentuk pesenyawaan antara Islam sebagai sebuah ajaran normativ dan Indonesia sebagai bagian realitas dan sejarah dimana HMI tumbuh-kembang.

Maka, pendalaman tentang materi NDP menjadi satu hal yang dapat memberikan penjelasan tentang kejuangan HMI. Untuk membantu dalam pelaksanaan perjuangan, perlu pengetahuan, sebagai ilmu alat untuk menganalisa gerakan perubahan sosial yang bisa dilakukan, sehingga kader dapat menentukan pola perjuangan yang tepat. Selain alat bantu analisa, kader juga harus memiliki kemampuan praktis untuk penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, dan implementasi gerakan perjuangan. Dengan pengetahuan dan kemampuan yang di berikan, diharapkan secara praktis, seorang kader lulusan Latihan Kader II dapat merencanakan dan mengimplementasikan gerakan perjuangan perubahan sosial secara organisatoris”.

Kualitas kader LK II kemudian (mengutip kanda Daniel) menjadi sosok yang terpilih dan terlatih dalam perkaderan himpunan. Sehingga tentunya, menjadi kualifikasi yang ideal bagi para kader untuk mengikuti LK II sebelum dapat maju kedalam kontestasi politik kampus. Hal demikian diharapkan, agar kembali hadir figur-figur kepemimpinan mahasiswa yang menjadi teladan dalam kualitas bagi kader himpunan ataupun mahasiswa dalam organisasi yang lainnya. Majulah dengan bermartabat!

Jakarta, 29 Oktober 2019

--

--