(Part IV) Milenialisasi Gagasan: Ikhtiar Modernisasi Intelektual

Tb. Damanhuri
6 min readOct 3, 2021
Photo by Austin Distel on Unsplash

“Didiklah kader-kadermu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” –Tb.Damanhuri-

Kutipan tersebut di-parafrase dalam konteks spririt ke-HMI-an dari petuah Ali bin Abi Thalib yang mengatakan: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”. Hal demikian penting untuk kita sadari dalam menganalisa dan memberikan kaderisasi yang baik bagi para kader-kader kemudian.

Analisa terhadap realitas masyarakat kemudian menjadi penting untuk kita telaah secara struktur atau pola yang membangun dan mempengaruhinya. Mengingat zaman pasti berubah. Dalam mencermati gejala/fenomena-fenomena sosial tersebut –rasanya masih menarik dan relevan apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun- bahwa “sesungguhnya ihwal dunia, bangsa, adat, dan kepercayaan mereka tidak statis, ia berjalan diatas suatu tatanan yang tetap. Setiap hari dan setiap zaman ia berubah-ubah dan berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain sebagaimana yang terjadi pada individu-individu, waktu dan kota, demikianlah yang terjadi dalam provinsi, tempat, zaman, dan negara[1].

Artinya kita melihat pernyataan tersebut bahwa zaman berkembang secara signifikan. Sedangkan tindakan menutup diri terhadap kondisi zaman merupakan perilaku ‘tradisionalis’ dan ‘reaksioner’ yang akan berdampak terhadap ketertinggalan zaman. Namun, naasnya masih saja yang “terlena” dan menutup mata akan perkembangan zaman yang begitu cepat dan melesat.

Dalam arus perkembangan zaman, revolusi industri menjadi variabel yang mendasar pada eskalasi perubahan dan tak bisa terpisahkan untuk membaca realitas zaman. Mengutip dari situs web Menperin[2], revolusi industri pertama atau 1.0 dimulai pada abad ke-18, hal tersebut ditandai dengan penemuan mesin uap dan untuk upaya peningkatan produktivitas yang bernilai tinggi. Pada revolusi industri 2.0 ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik. Kemudian, di era revolusi industri ketiga, atau 3.0 saat otomisasi dilakukan pada 1970 atau 1990-an hingga sebagian negara masih menerapkan industri ini. Dan pada revolusi industri keempat atau 4.0, Menperin menyampaikan, efesiensi mesin dan manusia sudah mulai terkonektivitas dengan internet of things, hal ini termasuk sistem cyber-fisik, internet, komputasi awan, dan komputasi kognitif. Lebih canggih lagi, dalam revolusi 4.0 ragam AI telah banyak ditemukan, diantaranya Artificial Intellegence (AI) atau kecerdasan buatan manusia, Internet of Things (OIT), Unmaned Vehicles (UAV), Mobile Technology (5G), Shared Platfrom, Block Chain, Robotic, dan Bio-Technology.

Memahami Generasi Millenial

Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, sungguh generasi millenial menduduki kelompok demografi, artinya masyarakat di dominasi oleh kelompok demografi setelelah Generasi X. Sebenarnya bilamana kita berfikir lebih mendasar, Penulis seperti William Strauss dan Neil Howe secara luas dianggap sebagai pencetus penamaan Millenial. Mereka menciptakan istilah tersebut pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah dan saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke ‘millenium’ baru di saat lulus SMA pada tahun 2000. Mereka pun menulis tentang kelompok ini dalam buku-bukunya, diantaranya Generation: The History of America’s Future Generation, 1584 to 2069 (1991), dan Millineals Rising: The Next Great Generation (2004).[3]

Kedua penulis tersebut percaya bahwa setiap generasi mempunyai karakteristik umum yang akan menjadi karakter generasi itu dengan empat pola yang berulang. Dimana menurut hipotesis mereka, Millenial akan mirip dengan G.I Generation yang lebih berwawasan sipil dengan empati yang kuat terhadap komunitas lokal dan global. Strauss dan Howe menjelaskan ada tujuh karakter Millenial, yaitu spesial, terlindungi, percaya diri, berwawasan kelompok, konvensionalm tahan tekanan, dan mengejar pencapaian. Dan secara jangkauan umurnya, Kaum Millenial adalah mereka generasi muda yang terlahir antara tahun 1980-an sampai 2000. Dimana kaum Millenial tersebut hadir tatkala dunia modern dan teknologi canggih diperkenalkan publik yang di iringi spirit lahirnya revolusi industri 4.0. Dan secara umumnya, generasi ini ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital.

Penelaahan yang tepat menjadi penting guna melakukan inovasi dan kreasi yang mendasar dalam sebuah perubahan ke depan. Artinya, kita mesti teliti berhadapan dengan generasi yang seperti apa dan memahami realitas kehidupan di zamannya.

HMI sebagai organisasi modern pun dituntut untuk menyelaraskan gagasan-gagasannya sesuai semangat zaman. Sebab tak bisa menafikan bahwa banyak kader-kadernya termasuk dalam kategori kaum Millenial tersebut. Dalam pelatihan-pelatihan fomal di HMI misalnya, basic training bukan sekadar doktrinisasi atau ideologisasi nilai-nilai keislaman, keummatan, dan keorganisasian pada setiap calon kader. Dimana dalam cara penyampaian nilai-nilai tersebut masih kerap dilakukan dengan metode konvensional. Padahal, di era Millenial ini setiap elemen terutama Pengurus, tim Master of Training, terkhusus Para Penceramah atau Pemateri mesti “berbenah diri dan berbenah metodologi” untuk dapat menyampaikan materi-materi dengan lebih inovatif dan progresif.

Inovasi Metodologi

Metodologi ialah kreativisasi, bukan teoritisasi. Adalah pernyataan awal yang ingin penulis pertegas disini. Sebab, ihwal metedologi kerapkali menjadi suatu hal yang berangkat dari teori-teori main mapping atau pemetaan konsep dari kerangka materi yang pemateri pahami dan mengesampingkan peserta sebagai obyek dan subyek latihan itu sendiri. Metodologi sebagai salah satu bagian terpenting dalam aktifitas pembelajaran dalam hal ini aktifitas ilmiah di forum-forum training hendaknya begitu memperhatikan kerangka ilmiah dan proses penyampaiannya secara tepat dan bernuansa ‘kekinian’.

Perlu kita differensiasikan antara metode dan metodeologi itu sendiri. Bahwa secara terminologi dasarnya metedologi adalah prosedur ilmiah yang di dalamnya termasuk pembentukan konsep, preposisi, model, hipotesis, dan teori, termasuk metode itu sendiri (Tuchman, 2009), sementara metode merupakan cara-cara untuk mengetahui sesuatu, sedangkan metodologi adalah analisis untuk memhami aturan, prosedur, dan metode tersebut (Senn, 1971). Dalam praktik sederhananya, yang kita peroleh bersama dalam pelatihan Senior Course misalnya, metode ialah cara-cara penyampaian materi, sebagai contohnya ialah metode ceramah, Focus Grup Discussion (FGD), brainstorming, studi kasus, dsb. Sedangkan metodologi ialah kerangka ilmiah atau alur berfikir dalam menarasikan dan menyampaikan substansi dari isi materi itu sendiri.

Dalam kurikulum basic training kita dapat menemukan indikator-indikator apa saja yang mesti diperhatikan dalam suatu materi yang disampaikan agar menyentuh nilai afektif (kepribadian), kognitif (pengetahuan), dan juga psikomotorik (daya kreatifitas) peserta latihan.

Misalnya di dalam materi Sejarah Peradaban Islam dan Sejarah Perjuangan HMI[4], isi materi berfokus untuk melihat sejarah kebudayaan Islam dunia, sampai dengan masuk Islam ke Indonesia. Lalu di fokuskan pada sejarah kelahiran HMI sebagai kelanjutan daripada perjuangan umat Islam. Dalam target materi ini aspek afektif mengharapkan peserta menjadi kader uang terbuka dan toleran; secara kognitif diharapkan peserta tahu peradaban dan aliran dalam Islamm serta posisi HMI; secara psikomotorik, peserta diharapkan tidak cepat mengambil kesimpulan. Dimana materi ini secara luas memberi keterangan terhadap frame awal karakter pribadi muslim intelegensia.

Pemateri yang memahami betul segenap aspek tersebut mestinya mempersiapkan inovasi metodeologi dan metode yang tepat dan relevan dengan peserta latihan. Dan metode konvensional seperti ceramah hendaklah menjadi jalan terakhir penyampaian materi. Sebab kita telah ketahui, generasi milenial merupakan generasi yang cenderung merasa ‘bosan’ dan akan lebih tertarik bilamana penyampaian gagasan tersebut melalui media-media yang canggih, seumpama short video movies, power point, learning by doing, atau bahkan refleksi-refleksi sejarah dengan menghadirkan suasana forum yang terkesan ‘klasik-artisitik’. Mengingat gambar atau dalam hal ini visualisasi mengandung seribu kata di didalamnya tanpa kita mesti lelah berkata-kata. Hal demikian pun patut untuk kita insyafi dalam materi-materi yang lainnya, seperti konstutisi HMI, Mission HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, dan KMO (Kepemimpinan, Manajemen dan Organisasi).

Inklusivitas Zaman

Milenialisasi gagasan adalah hal yang kemudian menjadi suatu keharusan untuk kita fikirkan dan kembangkan dalam metodologi-metodologi yang relevan dengan kader-kader ‘kekinian’. Sikap tersebut hanya dapat diterima bagi mereka yang memiliki fikiran dan jiwa yang terbuka terhadap zaman. Bukan malah bersikap ‘reaksioner’ atau antipati dengan mempertahankan budaya konvensional sampai mati. Perilaku reaksioner dapat kita purifikasi dengan memahami kembali spririt modernitas, dimana modernisasi ialah ikhtiar pencapaian makna terhadap prinsip-prinsip rasionalitas, perubahan kemajuan tekhnologi, dan membuka ruang bebas bagi kemerdekaan individu. Sehingga sebagai manusia yang modern, mestilah kita berjiwa terbuka, demokratis, dan juga partisipatif terhadap zaman.

Dimana abad modern ialah abad berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi kemajuan-kemajuan untuk menunjang efesiensi kebutuhan manusia. Begitupun dengan narasi modernisasi intelektual yang saya tekankan disini sebagai ikhtiar kita bersama dalam kerja intelektual yang lebih modernis dan progresif. Terutama proses dan aktifitas ilmiah kita dalam penyampaian materi khususnya dan gagasan luas pada umumnya diiringi dengan menyelaraskan spirit zamannya. Agar kader-kader yang hidup dan sebagai kelompok milenial dewasa ini dapat menangkap langsung gagasan-gagasan HMI dalam kehidupan yang konkrit. Sebab, masih banyak tentang kita di HMI yang malah mengabstraksi gagasan-gagasan tersebut di karenakan penyampaian yang kurang efektif dan efesien. Kedepannya, lagi-lagi kita semua mesti ‘melek’ dengan teknologi dan memanfaatkan modal itu demi efektifitas kerja intelektual dan kerja kemanusiaan kita dalam ber-HMI.

Jakarta, 26 Oktober 2019

Referensi:

[1] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, hlm 28.

[2] Dikutip pada laman situs https://tirto.id yang bertajuk “Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0”, pada pkl. 11.11 WIB, Kamis, 24 Oktober 2019.

[3] Strauss, William; Howe, Neil (2000). Millenials Rising: The Next Great Generation, New York, hlm 370.

[4] Pedoman Perkaderan dalam Hasil-hasil Kongres ke-30 tahun 2016 di Ambon, hlm 384.

--

--